Fenomena Anak Jalanan (Realitas Sosial)
Ilustrasi Anak Jalanan |
Fenomena Anak Jalanan (Realitas Sosial)
Fenomena anak jalanan merupakan kerangka-kerangka lingkaran setan kemiskinan bangsa. Masalah yang dihadapi adalah perubahan/ pertambahan anak-anak jalanan yang cukup tinggi. Dalam buku Childhope (2004:40) menyatakan bahwa laporan Dunia tentang Situasi Anak, menyebutkan bahwa terdapat 30 Juta anak tinggal dan menjaga diri mereka sendiri di jalan. Sedang di Asia, saat ini paling tidak terdapat sekitar 20 juta anak jalanan. Jumlah tersebut diramalkan akan meningkat dua kali lipat pada 30 tahun mendatang.
Penganiayaan kepada anak merupakan faktor utama seorang anak menjadi anak jalanan, dan juga banyak faktor lain yang berpengaruh terhadap fenomena anak jalanan. Faktor makro yang memunculkan masalah tersebut antara lain, yaitu; pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, ancaman putus sekolah karena orang tua tidak mampu membayar biaya sekolah, pembangunan kawasan dan daerah yang belum merata. Sedangkan masalah mikro di dalamnya tercakup; ajakan teman, desakan orang tua dan keluarga untuk mencari nafkah, ketidakpuasan terhadap sekolah atau guru, dan rumah tangga yang tidak harmonis.
Seperti yang diungkapkan Kartono dalam “Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja”; misalnya, rumah tangga yang berantakan disebabkan oleh kematian ayah atau ibu, perceraian di antara bapak dengan ibu, hidup terpisah, poligami, ayah mempunyai simpanan “istri” lain, keluarga yang diliputi konflik keras, semua itu merupakan sumber yang subur untuk memunculkan delinkuensi (tingkah laku yg menyalahi secara ringan norma dan hukum yg berlaku di suatu masyarakat) remaja.
Realitas pengalaman yang dihadapi tersebut, akan membangun kerangka pemikiran yang berbeda dan unik dari anak jalanan tentang lingkungan dengan perilakunya. Realitas yang dimaksud adalah bagaimana mereka mendapatkan perlakuan dari lingkungan dan bagaimana kehidupan/peran yang harus dipilih ketika mereka berinteraksi dengan lingkungan.Anak jalanan telah memiliki tanggung jawab yang tinggi terhadap keluarga.
Makna keluarga bagi mereka adalah sekelompok orang di mana dia harus ikut ambil bagian dalam menjaga keberlangsungan hidup mereka. Makna konstribusi terhadap keluarga bagi anak jalanan adalah seberapa besar uang yang harus disetorkan kepada orang tuanya dalam rangka membantu kehidupan keluarganya. Di samping itu, mereka sudah memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, misalnya membayar uang sekolah dengan biaya yang didapatkan dari hasil keringat mereka. Dalam keadaan seperti itu, tidak berlebihan jika anak jalanan selalu berada dalam situasi rentan dalam segi perkembangan fisik, mental, sosial bahkan nyawa mereka.
Melalui kebiasaan tindakan kekerasan terus menerus, terbentuk sebuah nilai-nilai baru dalam perilaku yang cenderung mengedepankan kekerasan sebagai cara untuk mempertahankan hidup. Ketika memasuki usia dewasa, kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan dan eksplotasi terhadap anak-anak jalanan lainnya. Di samping itu anak jalanan dengan perubahan/ keunikan yang diperlihatkan, memiliki tindak komunikasi yang berbeda dengan anak yang normal.
Komunikasi budaya dalam anak jalanan dapat menjelaskan tentang proses, pola, perilaku, gaya, dan bahasa yang digunakan oleh mereka. Aspek-aspek tersebut terlihat manakala berkomunikasi dengan sesaman, keluarga, petugas keamanan dan ketertiban, dan lembaga pemerintah. Juga dapat terlihat gaya komunikasi yang berbeda antara anak jalanan yang sudah terbiasa dalam lingkungan rumah singgah/panti/pengampu dengan anak jalanan yang ”liar”.
Dalam realitanya pertumbuhan anak jalanan di Indonesia semakin meningkat, terutama di kota-kota besar. Dalam (http://azonersnews.vacau.com), menyatakan bahwa Jumlah anak jalanan di Indonesia mengalami peningkatan pesat dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 1998, Kementrian Sosial R.I. menyatakan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah anak jalanan sekitar 400%. Tahun 1999 diperkirakan jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 50.000 anak.
Menurut Stephanie Christine Desmont mengungkapkan bahwa komposisi masyarakat yang terlantar umumnya terdiri dari anak-anak dan lansia. Pada tahun 2006 terdapat 78,96 juta anak di bawah usia 18 tahun, 35,5% dari total seluruh penduduk Indonesia. Sebanyak 40% atau 33,16 juta diantaranya tinggal di perkotaan dan 45,8 juta sisanya tinggal di perdesaan. Sebagian besar anak-anak ini berasal dari keluarga miskin dan tertinggal, yang tidak mempunyai kemampuan untuk memberdayakan dirinya, sehingga rentan terhadap kekerasan, eksploitasi, ketimpangan gender, perdagangan anak dan lain-lain. Menurut laporan Depsos pada tahun 2004, sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar.
Dan kota Jakarta adalah salah satu contoh, dimana kita akan sangat mudah melihat anak jalanan di berbagai tempat, mulai dari perempatan lampu merah, stasiun kereta api, pertokoan, terminal, pasar, dan bahkan mal. Dari data terakhir yang di peroleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka 154.861 jiwa, yang menurut Komisi Perlindungan Anak (Komnas PA), hampir separuhnya berada di Jakarta. Sisanya tersebar ke kota-kota besar lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang dan Makasar.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa biasanya mereka memang dikoordinir oleh kelompok yang rapi dan profesional, yang sering disebut sebagai mafia anak jalanan. Setiap anggota kelompok ini mempunyai tugasnya. Ada yang melakukan koordinir di setiap perempatan jalan, ada yang mengatur antar jemput dan sebagainya. Mafia/pelaku ini mengeksploitasi anak-anak dan menjadikannya sebagai sebuah ladang bisnis.
Dan yang lebih memprihatikan, kondisi ini seringkali atas persetujuan dari orang tua mereka sendiri, yang bahkan juga tak jarang berperan sebagai bagian dari mafia anak jalanan. Sedangkan makna dari eksploitasi terhadap anak sendiri menurut Stephanie Christine Desmont adalah suatu tindakan yang memanfaatkan anak untuk kepentingan pribadi baik secara fisik, non fisik, ekonomi, sosial, dan seksual. Bentuk eksploitasi terhadap anak sangat bervariasi, mulai dari penganiyaan terhadap anak, tekanan batin, kekerasan fisik, hingga pelecehan seksual. Baca juga: Fenomena Cabe-Cabean
Abdulkahar.1978.“Pokok-Pokok Dasar Bimbingan-Penyuluhan (Guidance and Counseling)”.Yogyakarta: IKIP Yogyakarta.Huraerah, Abu, M.Si. 2007. Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak) Edisi Revisi. Bandung : Nuansa.Kartono, Kartini.1992. “Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja”. Jakarta. Rajawali PersMarpaung, Leden, S.H. 1996. Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan MAslah Prevensinya. Jakarta : Sinar Grafika.Widyo basuki. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Anak Jalanan Melalui Pendidikan Untuk Masa Depan, hal 40 Jurnal Penelitian Hukum De JureNN. “Anak Jalanan Adalah Fenomena Masyarakat Dilihat dari Sosialisasi Program Pendidikan Usia Dini (PAUD)di Daerah Melalui Media Massa.”Soekanto, Soerjono, 1983, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyaraka, Rajawali, JakartaRanjabar, Jacopus, 2006, Sistem Sosial dan Budaya Indonesia,Ghalia Indonesia, Bogor
Jadilah yang pertama berkomentar di postingan "Fenomena Anak Jalanan (Realitas Sosial)"
Posting Komentar